Kewajiban Dulu, Baru Tuntut Hak
Selasa, 14 Mei 2013 / 4 Rajab 1434 H
Kuncinya masing-masing pasangan mendahulukan kewajiban daripada hak
Syuraih
menikahi wanita dari Bani Handhalah. Saat malam pertama, kedua mempelai
melakukan shalat dua rakaat dan berdoa memohon kebaikan dari Allah.
Seusai shalat, sang istri menghadap ke arah Syuraih seraya berkata, “Beritahukan
kepadaku apa yang menjadi kesenanganmu pasti akan aku berikan, dan apa
pula yang kamu tidak senangi aku akan menjauhinya.”
Dalam perjalanan rumah tangga mereka, sang istri pun membuktikan ucapannya itu. Dia sangat berbakti dan penuh kasih sayang. Senantiasa memelihara rumahnya dan memenuhi hak-hak suaminya. Apabila ada kekeruhan dalam kehidupan rumah tangganya, dia segera menjernihkan suasana dengan cinta dan pengertian yang bijak. Dia tidak mau menuruti hawa nafsunya dan egonya sendiri.
Mendapat istrinya yang seperti itu Syuraih berkata, “Istriku telah bersamaku selama dua puluh tahun. Dan selama itu pula aku tidak pernah mencela sedikit pun, kecuali sekali aku pernah mendzaliminya.”
Jangan Egois
Bandingkan dengan ilustrasi berikut, yang justru sering terjadi di rumah tangga saat ini. Amir dan istrinya sering bertengkar. Mereka masing-masing merasa benar. Amir merasa istrinya sudah tidak taat lagi pada dirinya. Sebagai pemimpin rumah tangga, ia merasa harus menegurnya. “Arrijalu qawwamuna alan nisa’!” katanya kepada istrinya.
Tapi bukannya mendengarkan tegurannya itu, sang istri justru membela diri dan tak mau disalahkan begitu saja. Ia membalas dengan nada yang tak kalah keras dengan melontarkan ayat juga, “Wa asyiru hunna bil ma’ruf!”
Mendengar balasan istrinya itu, Amir tidak habis pikir, kenapa istrinya sampai berani menentangnya. Sebaliknya istrinya juga tidak habis mengerti, kenapa sikap suaminya yang sudah tahu dalil-dalil Al Qur’an tidak menunjukkan tanggung jawab sebagai pemimpin.
Ayat yang dibaca mereka berdua tidaklah salah. Karena masing-masing bersumber dari al Qur’an. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita...”(An Nisaa’ [4]: 34). Namun apa yang dikemukakan istrinya juga benar. “...Dan bergaullah (wahai para suami) dengan mereka (para istri) secara patut...”(An Nisaa’ [4]: 19).
Ayat yang disampaikan itu memang benar, tetapi cara menyampaikan dan menempatkannya terasa kurang pas. Ayat-ayat itu mestinya terlebih dahulu untuk mengingatkan diri sendiri, bukan digunakan untuk menuntut orang lain.
Dengan sikap menuntut seperti itu, yang pertama tampak dengan jelas adalah kekurangan dan kesalahan pasangannya. Tapi masing-masing lupa, bahwa pada dirinya juga banyak kekurangan. Semut di seberang lautan kelihatan, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan.
Seorang yang menyampaikan ayat untuk menuntut orang lain, tanpa sadar yang disampaikan bukan untuk menunjukkan kebenaran tetapi justru menunjukkan ego. Kesan itulah yang ditangkap istri Amir. Malah istrinya juga membalas melontarkan ayat yang kesannya berisi tuntutan balik.jadilah saling menuntut.
Pola demikian ini justru mengakibatkan konflik kian parah. Mereka pun kian keras saling menuntut terpenuhinya hak, tapi cenderung mengabaikan kewajibannya. Masing-masing merasa menyampaikan kebenaran atas nama Al Qur’an, padahal realitasnya justru mengatasnamakan Al Qur’an untuk kepentingan egonya saja.
Menyampaikan sebuah ayat, tidak hanya dibutuhkan kepandaian, tetapi juga kearifan. Tanpa kearifan, akan mengakibatkan seseorang terjerumus pada egoisme. Seseorang yang tidak arif tidak hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga memikirkan bagaimana ia menyampaikan dengan baik.
Apakah posisinya sudah tepat menyampaikan pesan itu? Jika memang perlu, mungkin orang lain yang netral akan lebih tepat menyampaikan sehingga bisa adil dan tidak terkesan hanya tuntutan sepihak.
Introspeksi Diri
Coba kalau ayat-ayat itu terlebih dulu dijadikan introspeksi diri, tentu hasilnya akan berbeda. Sebagai suami, telitilah diri sendiri: sudahkah diri ini menunaikan kewajiban sebagai pemimpin rumah tangga dengan baik? Sudahkah memberi nafkah, mempergauli istri, dan berkomunikasi dengan bijak?
Seorang istri juga perlu selalu menimbang dirinya. Sudahkah sebagai istri melaksanakan kewajiban taat? Bukannya selalu sibuk menuntut ini dan itu diluar kemampuan seseorang.
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. "Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan".(QS.At Thalaq [65]: 7)
Kalau ada kekurangan, secara jujur masing-masing segera meminta maaf. “Istriku, maafkan aku belum bisa memberi nafkah yang memuaskanmu. Aku juga masih sering bersikap kasar dan menyakitkan kamu.”
Insya Allah, sikap jujur ini akan ditanggapi positif oleh istri. Bukan dengan tuntutan, tetapi pengakuan jujur juga. “Suamiku, justru akulah yang harus meminta maaf dahulu. Sebagai istri aku belum bisa melayani dan taat sepenuhnya denganmu. Ridhailah aku.” Dengan mendahulukan introspeksi dan meminta maaf akan terbangun suasana saling menghormati dan menyayangi.
Dahulukan Kewajiban
Orang egois menuntut dipahami, tetapi tidak suka untuk memahami. Suka dilayani tetapi tidak suka melayani. Padahal kita hanya bisa dipahami oleh pasangan kalau kita terlebih dahulu mau memahaminya.
Agar permasalahan tidak terus menjadi-jadi, jangan perturutkan ego diri. Tunaikanlah lebih dahulu kewajiban. Bila kewajiban telah dilakukan masing-masing pihak, maka hak akan datang dengan sendirinya. Inilah yang dilakukan Syuraih dan istrinya.
Sebagai pemimpin rumah tangga, kewajiban kepala rumah tangga mestinya melindungi istri dan mempergaulinya dengan baik. Jangan mudah menekan dan menuntut, apalagi dengan senjata ayat al Qur’an. Laksanakan terlebih dahulu tanggung jawab dan kewajiban. Maka akan tumbuh dengan sendirinya saling menghormati.
Istri juga hendaknya mengetahui kewajiban-kewajibannya. Sadarilah hak suami terhadap dirinya sangatlah besar. Jika ini dijadikan istri untuk sungguh-sungguh menjalankan kewajiban taat kepada suaminya, tentu akan berbuah kebaikan.
Tetapi bila hal ini dipakai suami untuk menekan istri tentu akan terjadi kezaliman. “Tidaklah boleh seseorang sujud kepada orang lain. Seandainya diperbolehkan seseorang sujud kepada orang lain, niscaya aku akan perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami atas dirinya. “(Riwayat Ahmad, Nasa’I dan Al Bazzar).
Sering-seringlah menanyakan layanan kita pada pasangan. Sebagai suami tanyakan apa yang diinginkan oleh istri. Memahami dan melayani pasangan memang tidak ringan. Tetapi dengan keikhlasan dan doa, Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menurunkan rahmatNya dan memudahkan semua urusan. Baiti Jannati. Rumahku surgaku. Itulah dambaan kita semua. *
Dalam perjalanan rumah tangga mereka, sang istri pun membuktikan ucapannya itu. Dia sangat berbakti dan penuh kasih sayang. Senantiasa memelihara rumahnya dan memenuhi hak-hak suaminya. Apabila ada kekeruhan dalam kehidupan rumah tangganya, dia segera menjernihkan suasana dengan cinta dan pengertian yang bijak. Dia tidak mau menuruti hawa nafsunya dan egonya sendiri.
Mendapat istrinya yang seperti itu Syuraih berkata, “Istriku telah bersamaku selama dua puluh tahun. Dan selama itu pula aku tidak pernah mencela sedikit pun, kecuali sekali aku pernah mendzaliminya.”
Jangan Egois
Bandingkan dengan ilustrasi berikut, yang justru sering terjadi di rumah tangga saat ini. Amir dan istrinya sering bertengkar. Mereka masing-masing merasa benar. Amir merasa istrinya sudah tidak taat lagi pada dirinya. Sebagai pemimpin rumah tangga, ia merasa harus menegurnya. “Arrijalu qawwamuna alan nisa’!” katanya kepada istrinya.
Tapi bukannya mendengarkan tegurannya itu, sang istri justru membela diri dan tak mau disalahkan begitu saja. Ia membalas dengan nada yang tak kalah keras dengan melontarkan ayat juga, “Wa asyiru hunna bil ma’ruf!”
Mendengar balasan istrinya itu, Amir tidak habis pikir, kenapa istrinya sampai berani menentangnya. Sebaliknya istrinya juga tidak habis mengerti, kenapa sikap suaminya yang sudah tahu dalil-dalil Al Qur’an tidak menunjukkan tanggung jawab sebagai pemimpin.
Ayat yang dibaca mereka berdua tidaklah salah. Karena masing-masing bersumber dari al Qur’an. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita...”(An Nisaa’ [4]: 34). Namun apa yang dikemukakan istrinya juga benar. “...Dan bergaullah (wahai para suami) dengan mereka (para istri) secara patut...”(An Nisaa’ [4]: 19).
Ayat yang disampaikan itu memang benar, tetapi cara menyampaikan dan menempatkannya terasa kurang pas. Ayat-ayat itu mestinya terlebih dahulu untuk mengingatkan diri sendiri, bukan digunakan untuk menuntut orang lain.
Dengan sikap menuntut seperti itu, yang pertama tampak dengan jelas adalah kekurangan dan kesalahan pasangannya. Tapi masing-masing lupa, bahwa pada dirinya juga banyak kekurangan. Semut di seberang lautan kelihatan, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan.
Seorang yang menyampaikan ayat untuk menuntut orang lain, tanpa sadar yang disampaikan bukan untuk menunjukkan kebenaran tetapi justru menunjukkan ego. Kesan itulah yang ditangkap istri Amir. Malah istrinya juga membalas melontarkan ayat yang kesannya berisi tuntutan balik.jadilah saling menuntut.
Pola demikian ini justru mengakibatkan konflik kian parah. Mereka pun kian keras saling menuntut terpenuhinya hak, tapi cenderung mengabaikan kewajibannya. Masing-masing merasa menyampaikan kebenaran atas nama Al Qur’an, padahal realitasnya justru mengatasnamakan Al Qur’an untuk kepentingan egonya saja.
Menyampaikan sebuah ayat, tidak hanya dibutuhkan kepandaian, tetapi juga kearifan. Tanpa kearifan, akan mengakibatkan seseorang terjerumus pada egoisme. Seseorang yang tidak arif tidak hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga memikirkan bagaimana ia menyampaikan dengan baik.
Apakah posisinya sudah tepat menyampaikan pesan itu? Jika memang perlu, mungkin orang lain yang netral akan lebih tepat menyampaikan sehingga bisa adil dan tidak terkesan hanya tuntutan sepihak.
Introspeksi Diri
Coba kalau ayat-ayat itu terlebih dulu dijadikan introspeksi diri, tentu hasilnya akan berbeda. Sebagai suami, telitilah diri sendiri: sudahkah diri ini menunaikan kewajiban sebagai pemimpin rumah tangga dengan baik? Sudahkah memberi nafkah, mempergauli istri, dan berkomunikasi dengan bijak?
Seorang istri juga perlu selalu menimbang dirinya. Sudahkah sebagai istri melaksanakan kewajiban taat? Bukannya selalu sibuk menuntut ini dan itu diluar kemampuan seseorang.
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. "Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan".(QS.At Thalaq [65]: 7)
Kalau ada kekurangan, secara jujur masing-masing segera meminta maaf. “Istriku, maafkan aku belum bisa memberi nafkah yang memuaskanmu. Aku juga masih sering bersikap kasar dan menyakitkan kamu.”
Insya Allah, sikap jujur ini akan ditanggapi positif oleh istri. Bukan dengan tuntutan, tetapi pengakuan jujur juga. “Suamiku, justru akulah yang harus meminta maaf dahulu. Sebagai istri aku belum bisa melayani dan taat sepenuhnya denganmu. Ridhailah aku.” Dengan mendahulukan introspeksi dan meminta maaf akan terbangun suasana saling menghormati dan menyayangi.
Dahulukan Kewajiban
Orang egois menuntut dipahami, tetapi tidak suka untuk memahami. Suka dilayani tetapi tidak suka melayani. Padahal kita hanya bisa dipahami oleh pasangan kalau kita terlebih dahulu mau memahaminya.
Agar permasalahan tidak terus menjadi-jadi, jangan perturutkan ego diri. Tunaikanlah lebih dahulu kewajiban. Bila kewajiban telah dilakukan masing-masing pihak, maka hak akan datang dengan sendirinya. Inilah yang dilakukan Syuraih dan istrinya.
Sebagai pemimpin rumah tangga, kewajiban kepala rumah tangga mestinya melindungi istri dan mempergaulinya dengan baik. Jangan mudah menekan dan menuntut, apalagi dengan senjata ayat al Qur’an. Laksanakan terlebih dahulu tanggung jawab dan kewajiban. Maka akan tumbuh dengan sendirinya saling menghormati.
Istri juga hendaknya mengetahui kewajiban-kewajibannya. Sadarilah hak suami terhadap dirinya sangatlah besar. Jika ini dijadikan istri untuk sungguh-sungguh menjalankan kewajiban taat kepada suaminya, tentu akan berbuah kebaikan.
Tetapi bila hal ini dipakai suami untuk menekan istri tentu akan terjadi kezaliman. “Tidaklah boleh seseorang sujud kepada orang lain. Seandainya diperbolehkan seseorang sujud kepada orang lain, niscaya aku akan perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami atas dirinya. “(Riwayat Ahmad, Nasa’I dan Al Bazzar).
Sering-seringlah menanyakan layanan kita pada pasangan. Sebagai suami tanyakan apa yang diinginkan oleh istri. Memahami dan melayani pasangan memang tidak ringan. Tetapi dengan keikhlasan dan doa, Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menurunkan rahmatNya dan memudahkan semua urusan. Baiti Jannati. Rumahku surgaku. Itulah dambaan kita semua. *
Hanif Hanan
Anggota Dewan Syura Hidayatullah
Anggota Dewan Syura Hidayatullah
Suara Hidayatullah Edisi 02 | XXV | Juni 2012 / Sya’ban 1433 | Hal 68 - 69
***
(AniqAds. #SyawalSale)
Facebook.com/AniqUniq - Twitter (@bundaniq)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !