Pendiri Sekolah Gratis untuk Dhuafa
30 Mei 2013 / 20 Rajab 1434 H
Bermula dari keprihatinan, Ade membuat sekolah gratis untuk anak-anak tak mampu. Mengapa ia dianggap tak waras?
Mendapatkan sekolah gratis di ibukota, Jakarta, nyaris mustahil.
Tapi di tangan wanita kelahiran 46 tahun silam ini, hal tersebut dapat
terwujud. Bahkan, tidak hanya gratis biaya pendidikan, siswa juga
mendapat fasilitas kesehatan, serta biaya untuk melanjutkan pendidikan
ke tingkat berikutnya. Inilah kerja mulia Ade Pujiati, pendiri SMP Ibu Pertiwi, sekolah gratis bagi anak tak mampu.
Jangan bayangkan sekolah yang terletak di Komplek Perdatam, Pancoran, Jakarta Selatan ini seperti sekolah pada umumnya; ada bangunan fisik, ruang kelas, laboratorium, dan sebagainya.
Sekolah gratis besutan Ade Pujiati ini hanyalah sebuah rumah tinggal yang ia sulap menjadi tempat belajar. Ruang belajarnya pun menggunakan teras dan ruangan lainnya yang ada di dalam rumah.
Ide wanita kelahiran Jakarta, 6 Oktober 1966 ini bermula dari rasa kecewa terhadap kebijakan pemerintah soal biaya sekolah yang mahal bagi kalangan tidak mampu. “Saya sering menanyakan ke sekolah tempat anak asuh saya belajar, mengapa banyak pungutan? Misalnya melalui program pengadaan buku, pengadaan perlengkapan sekolah dan pungutan lain,” ujar Ade yang menilai program pencanangan wajib belajar 9 tahun justru menyuburkan pungutan.
Sikap kritis Ade terhadap pihak sekolah itu, justru berimbas kepada anak-anak asuhnya di sebuah SD negeri. Mereka mendapat perlakuan kurang adil. Sejak itulah, wanita yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia ini bertekad membuat sekolah gratis.
Selama dua tahun, mantan guru piano ini mencari informasi tentang konsep pendidikan gratis, dari teman, saudara, juga murid les pianonya. Bahkan, ia juga mencoba cari tahu konsep pendidikan di Jepang dan Amerika melalui adik dan kakak kandungnya yang tinggal di negara tersebut. “Semoga sekolah gratis ini bisa mempunyai standar internasional, walaupun sangat kecil,” harapnya.
Tak sedikit, teman dan kerabatnya menganggap Ade tidak waras. “Teman saya mengatakan ini ide gila, karena mengumpulkan orang miskin dan yang bodoh pula. Selain itu, (biaya) ditanggung semuanya,” kata Ade.
Tetapi ide “gila” ini justru berhasil Ade wujudkan. Awal September 2007, Tempat Kegiatan Belajar Mandiri (TKBM) SMP Gratis Ibu Pertiwi tersebut berhasil berdiri dan mendapat izin dari Dinas Pendidikan Dasar Jakarta Selatan. Bahkan, sekolah ini, ujar Ade, tergolong sekolah formal yang setara dengan sekolah umum.
“Sekolah gratis ini menginduk pada SMP Negeri 67 Setiabudi, Jakarta Selatan. Jadi, ijazahnya yang mengeluarkan SMP itu,” ucap Ade. Saat ini siswa di SMP Ibu Pertiwi berjumlah 25 orang, yang aktif sebanyak 18 orang.
Sekolah gratis dengan konsep yang diterapkan Ade, menurutnya beda dengan sekolah lain. “Sekolah di sini gratis dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dapat susu, dapat biaya kesehatan lengkap gratis, semua kebutuhan sekolah ditanggung, itu yang membedakan dibanding sekolah lain,” kata mantan wartawan media cetak di ibukota ini.
Di SMP Ibu Pertiwi tidak hanya diisi dengan kegiatan belajar mengajar, Ade juga menggagas kegiatan ekstra kurikuler. Seperti cara berwirausaha, olahraga, tata boga, dan kesenian. Dengan kegiatan yang padat itu, tambah Ade, membuat anak-anak tidak sempat kembali ke jalanan dan pekerjaan yang sia-sia.
Agar Rajin Shalat
Ade punya cara berbeda untuk menyeleksi murid yang akan diterimanya. Jika di tempat lain dipilih anak yang kurang mampu tapi pandai, namun Ade menerapkan sebaliknya. “Kalau anak miskin berprestasi itu sudah biasa. Tapi, kalau miskin dan bodoh itu yang harus kita selamatkan,” ujarnya.
Pasalnya, menurut Ade, jika anak-anak tadi tidak mendapat pendidikan yang layak akan sangat berbahaya. Anak-anak yang tidak berprestasi dan miskin kalau tidak disekolahkan dan tidak diselamatkan bakal rentan terjerumus ke arah tindakan kriminal. Sedangkan saat ini sedikit sekali orang yang peduli akan hal ini.
Dalam mendidik muridnya, Ade tidak hanya perhatian terhadap hal akademik. Ia juga memperhatikan perkembangan moral dan perilaku anak asuhnya yang rata-rata berasal dari lingkungan yang “keras”. Maka, ia kerap mengajarkan pendidikan agama terhadap murid-muridnya, mulai dari shalat wajib, shalat Sunnah, dan puasa hari Senin-Kamis.
Anak keempat dari lima bersaudara pasangan (alm) M. Karyadinata dan Isa ini tidak memasang target muluk-muluk. Misalnya, murid-muridnya itu berubah total. Sudah hukum alam di negara manapun, kalau mengurusi anak semacam itu lebih banyak tidak berhasilnya. “Tapi bagi saya itu tak masalah. Kepuasan batin yang luar biasa adalah ketika ada anak didik saya yang tadinya tidak pernah shalat menjadi rajin shalat,” harapnya.
Sementara itu, agar anak didiknya menjadi disiplin, wanita yang gemar memasak ini juga menerapkan sistem denda pada murid yang melanggar aturan. Memang, denda itu tidak terlalu besar, namun bagi keluarga tidak mampu sangat menjadi beban.
Gara-gara denda tersebut banyak orangtua murid merasa keberatan dan akhirnya memilih menarik anaknya dari sekolah. Setiap murid yang bolos, tidak mengerjakan PR, kabur dari sekolah dan mengucapkan kata-kata kotor akan mendapat denda sebesar Rp 2 – 5 ribu. Kata Ade, denda itu hukuman terakhir. Sebelumnya ia lakukan konseling dan memanggil orangtua murid, jika masih melanggar maka kena denda.
Dana Urunan
Menurut Ade, murid-murid yang lulus dengan akhlak baik akan mendapat bantuan dana untuk biaya melanjutkan sekolah, serta biaya hidup per bulan. Ade mencontohkan, ada seorang muridnya yang sampai kini masih dibiayai, baik untuk sekolahnya maupun kebutuhan hidupnya.
“Tiap tahun kita mengevaluasi, sampai sekarang tinggal dua anak. Kita akan memberhentikan bantuan jika ada anak yang ketahuan merokok, pacaran, dan keluyuran malam, karena itu akan membuat sekolah jadi terganggu,” ujar Ade.
Meski harus menanggung biaya pendidikan dan kebutuhan murid-muridnya, Ade paling anti membuat proposal dan mengemis pada orang lain. Donatur hanya dari keluarga, saudara, teman dekat, dan 11 orang guru yang mengajar di sekolah tersebut. Jadi, bukannya dibayar, guru di sekolah SMP Ibu Pertiwi justru ikut menyumbang dana.
Memang, kata Ade, bantuan dari pemerintah ada, namun itu sifatnya hanya untuk operasional kegiatan sekolah, bukan untuk membelikan kebutuhan anak. Alasan lain yang membuat Ade tidak mau meminta bantuan kepada lembaga yang ada, karena SMP Gratis Ibu Pertiwi ini belum berbentuk yayasan.
Ade bercerita, pernah suatu saat kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhan muridnya. Terpaksa Ade dan anak didiknya membuat kue untuk dijual. Dan, alhamdulillah laris.
“Donatur kita sedikit tetapi istiqamah. Saya memang tidak berniat membuat sekolah ini menjadi besar. Saya ingin sekolah ini biasa, tapi hasilnya luar biasa,” pungkas Ade.
Jangan bayangkan sekolah yang terletak di Komplek Perdatam, Pancoran, Jakarta Selatan ini seperti sekolah pada umumnya; ada bangunan fisik, ruang kelas, laboratorium, dan sebagainya.
Sekolah gratis besutan Ade Pujiati ini hanyalah sebuah rumah tinggal yang ia sulap menjadi tempat belajar. Ruang belajarnya pun menggunakan teras dan ruangan lainnya yang ada di dalam rumah.
Ide wanita kelahiran Jakarta, 6 Oktober 1966 ini bermula dari rasa kecewa terhadap kebijakan pemerintah soal biaya sekolah yang mahal bagi kalangan tidak mampu. “Saya sering menanyakan ke sekolah tempat anak asuh saya belajar, mengapa banyak pungutan? Misalnya melalui program pengadaan buku, pengadaan perlengkapan sekolah dan pungutan lain,” ujar Ade yang menilai program pencanangan wajib belajar 9 tahun justru menyuburkan pungutan.
Sikap kritis Ade terhadap pihak sekolah itu, justru berimbas kepada anak-anak asuhnya di sebuah SD negeri. Mereka mendapat perlakuan kurang adil. Sejak itulah, wanita yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia ini bertekad membuat sekolah gratis.
Selama dua tahun, mantan guru piano ini mencari informasi tentang konsep pendidikan gratis, dari teman, saudara, juga murid les pianonya. Bahkan, ia juga mencoba cari tahu konsep pendidikan di Jepang dan Amerika melalui adik dan kakak kandungnya yang tinggal di negara tersebut. “Semoga sekolah gratis ini bisa mempunyai standar internasional, walaupun sangat kecil,” harapnya.
Tak sedikit, teman dan kerabatnya menganggap Ade tidak waras. “Teman saya mengatakan ini ide gila, karena mengumpulkan orang miskin dan yang bodoh pula. Selain itu, (biaya) ditanggung semuanya,” kata Ade.
Tetapi ide “gila” ini justru berhasil Ade wujudkan. Awal September 2007, Tempat Kegiatan Belajar Mandiri (TKBM) SMP Gratis Ibu Pertiwi tersebut berhasil berdiri dan mendapat izin dari Dinas Pendidikan Dasar Jakarta Selatan. Bahkan, sekolah ini, ujar Ade, tergolong sekolah formal yang setara dengan sekolah umum.
“Sekolah gratis ini menginduk pada SMP Negeri 67 Setiabudi, Jakarta Selatan. Jadi, ijazahnya yang mengeluarkan SMP itu,” ucap Ade. Saat ini siswa di SMP Ibu Pertiwi berjumlah 25 orang, yang aktif sebanyak 18 orang.
Sekolah gratis dengan konsep yang diterapkan Ade, menurutnya beda dengan sekolah lain. “Sekolah di sini gratis dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dapat susu, dapat biaya kesehatan lengkap gratis, semua kebutuhan sekolah ditanggung, itu yang membedakan dibanding sekolah lain,” kata mantan wartawan media cetak di ibukota ini.
Di SMP Ibu Pertiwi tidak hanya diisi dengan kegiatan belajar mengajar, Ade juga menggagas kegiatan ekstra kurikuler. Seperti cara berwirausaha, olahraga, tata boga, dan kesenian. Dengan kegiatan yang padat itu, tambah Ade, membuat anak-anak tidak sempat kembali ke jalanan dan pekerjaan yang sia-sia.
Agar Rajin Shalat
Ade punya cara berbeda untuk menyeleksi murid yang akan diterimanya. Jika di tempat lain dipilih anak yang kurang mampu tapi pandai, namun Ade menerapkan sebaliknya. “Kalau anak miskin berprestasi itu sudah biasa. Tapi, kalau miskin dan bodoh itu yang harus kita selamatkan,” ujarnya.
Pasalnya, menurut Ade, jika anak-anak tadi tidak mendapat pendidikan yang layak akan sangat berbahaya. Anak-anak yang tidak berprestasi dan miskin kalau tidak disekolahkan dan tidak diselamatkan bakal rentan terjerumus ke arah tindakan kriminal. Sedangkan saat ini sedikit sekali orang yang peduli akan hal ini.
Dalam mendidik muridnya, Ade tidak hanya perhatian terhadap hal akademik. Ia juga memperhatikan perkembangan moral dan perilaku anak asuhnya yang rata-rata berasal dari lingkungan yang “keras”. Maka, ia kerap mengajarkan pendidikan agama terhadap murid-muridnya, mulai dari shalat wajib, shalat Sunnah, dan puasa hari Senin-Kamis.
Anak keempat dari lima bersaudara pasangan (alm) M. Karyadinata dan Isa ini tidak memasang target muluk-muluk. Misalnya, murid-muridnya itu berubah total. Sudah hukum alam di negara manapun, kalau mengurusi anak semacam itu lebih banyak tidak berhasilnya. “Tapi bagi saya itu tak masalah. Kepuasan batin yang luar biasa adalah ketika ada anak didik saya yang tadinya tidak pernah shalat menjadi rajin shalat,” harapnya.
Sementara itu, agar anak didiknya menjadi disiplin, wanita yang gemar memasak ini juga menerapkan sistem denda pada murid yang melanggar aturan. Memang, denda itu tidak terlalu besar, namun bagi keluarga tidak mampu sangat menjadi beban.
Gara-gara denda tersebut banyak orangtua murid merasa keberatan dan akhirnya memilih menarik anaknya dari sekolah. Setiap murid yang bolos, tidak mengerjakan PR, kabur dari sekolah dan mengucapkan kata-kata kotor akan mendapat denda sebesar Rp 2 – 5 ribu. Kata Ade, denda itu hukuman terakhir. Sebelumnya ia lakukan konseling dan memanggil orangtua murid, jika masih melanggar maka kena denda.
Dana Urunan
Menurut Ade, murid-murid yang lulus dengan akhlak baik akan mendapat bantuan dana untuk biaya melanjutkan sekolah, serta biaya hidup per bulan. Ade mencontohkan, ada seorang muridnya yang sampai kini masih dibiayai, baik untuk sekolahnya maupun kebutuhan hidupnya.
“Tiap tahun kita mengevaluasi, sampai sekarang tinggal dua anak. Kita akan memberhentikan bantuan jika ada anak yang ketahuan merokok, pacaran, dan keluyuran malam, karena itu akan membuat sekolah jadi terganggu,” ujar Ade.
Meski harus menanggung biaya pendidikan dan kebutuhan murid-muridnya, Ade paling anti membuat proposal dan mengemis pada orang lain. Donatur hanya dari keluarga, saudara, teman dekat, dan 11 orang guru yang mengajar di sekolah tersebut. Jadi, bukannya dibayar, guru di sekolah SMP Ibu Pertiwi justru ikut menyumbang dana.
Memang, kata Ade, bantuan dari pemerintah ada, namun itu sifatnya hanya untuk operasional kegiatan sekolah, bukan untuk membelikan kebutuhan anak. Alasan lain yang membuat Ade tidak mau meminta bantuan kepada lembaga yang ada, karena SMP Gratis Ibu Pertiwi ini belum berbentuk yayasan.
Ade bercerita, pernah suatu saat kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhan muridnya. Terpaksa Ade dan anak didiknya membuat kue untuk dijual. Dan, alhamdulillah laris.
“Donatur kita sedikit tetapi istiqamah. Saya memang tidak berniat membuat sekolah ini menjadi besar. Saya ingin sekolah ini biasa, tapi hasilnya luar biasa,” pungkas Ade.
*Niesky Hafur Permana
Suara Hidayatullah Edisi 02 | XXV | Juni 2012/ Sya’ban 1433, Hal 72 – 73
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !