Bertekad Bangkitkan Peran Ayah
Hidup bersama anak-anak gelandangan. Kini, ia aktif di kegiatan pemulihan anak korban bencana dan pengasuhan anak.
Mengetahui resep setelah mengecapnya. Barangkali pernyataan ini cocok disematkan kepada Irwan Rinaldi yang punya kepedulian tinggi terhadap masalah pengasuhan anak atau parenting, terutama tentang peran keayahan.
Ia telah terjun merangkul anak-anak gelandangan sejak 20 tahun silam, saat parenting belum banyak dibicarakan. Irwan lahir di Biaro, di kaki Gunung Merapi Kabupaten Agam, Bukittinggi, Sumatera Barat. Setamatnya dari SMA 2 Padang pada 1985, ia pergi ke Jakarta untuk kuliah di Universitas Indonesia (UI) dan Sekolah Tinggi Filsafat Drikarya.
Untuk biaya kuliahnya, Irwan bekerja serabutan: mengamen, mendongeng, menjadi kernet angkutan kota, pedagang kaki lima dan penulis. Selain itu, juga pernah menjadi guru. Karena rumah kerabat yang ditempatinya pas-pasan, lalu ia mencari tempat lain.
Pilihannya adalah bergabung dengan para gelandangan di sebuah gedung olahraga di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Irwan tidur dan makan bersama mereka. Keakraban Irwan dengan kaum dhuafa ini membuatnya dikenal, baik oleh para gelandangan maupun sopir.
Ia dikenal juga sebagai mahasiswa, sehingga banyak orangtua dari kalangan gelandangan tersebut yang menitipkan anak-anaknya untuk diajari oleh Irwan. "Di situ saya belajar banyak tentang kehidupan," kata pria kelahiran 6 September 1966 ini kepada Suara Hidayatullah, awal Januari lalu.
Dari pengalamannya tersebut, ia sadar, bahwa banyak anak-anak yang telah kehilangan ayah. Kata Irwan, mereka memang punya Ayah secara fisik, tapi tidak memilikinya secara psikologis. Para Ayah sibuk bekerja. Ketika di rumah mereka menyapa anak-anaknya sekadarnya, dan tidak dengan perasaan.
Menurutnya, banyak orangtua yang menganggap biasa saja perkembangan anak usia dini. Padahal, usia dini adalah masa ideal untuk membentuk karakter dan akhlak. Idealnya, kata Irwan, masa pembentukan karakter dimulai dari usia 0 hingga 15 tahun.
Sayangnya, banyak orangtua yang tidak menyadari hal ini, dan malah menitipkan pengasuhan anaknya kepada orang lain, kata Irwan. Bahkan ada anak usia TK sudah mengikuti kegiatan kursus. Sebab itu, sang anak kehilangan sosok ayah.
"Akhirnya ia mencari tokoh ayah di tempat lain. Anak-anak lebih suka nongkrong di warnet karena dia menemukan tokoh ayah di sana," kata Irwan yang berpengalaman menjadi tim pemulihan anak korban perang dan bencana alam di kawasan Eropa Timur, Asia, dan Indonesia ini.
Aku Mau Ayah
Menurut Irwan, dalam sebuah penelitian lembaga swadayanya di wilayah Jakarta-Bogor-Depok Tangerang-Bekasi, sebanyak 85 persen sekolah TK dan SD diajar oleh guru perempuan. Di sisi lain, anak usia TK dan SD berada pada fase gemar meniru.
Kata Irwan, ada kisah nyata di sebuah TK Islam. Seorang siswa bertanya kepada guru perempuannya tentang sosok Umar bin Khaththab. Dijelaskanlah, Umar adalah seorang yang kuat dan perkasa. Lalu si anak bertanya, perkasa itu seperti apa dan bagaimana.
Si guru wanita itu pun bingung. Ada lagi, katanya, seorang anak TK sangat penasaran dengan sosok Ali bin Abi Thalib sebagai laki-laki yang jago menunggang kuda yang diceritakan oleh gurunya. Dia bertanya, bagaimana contohnya naik kuda. Si guru pun bingung.
Ketika pulang, anak ini melihat di televisi ada orang berambut panjang menaiki kuda dengan kencang. Dia bergumam, "Oo.. Ali itu rambutnya panjang, ya?" Adegan selanjutnya, lelaki gondrong tadi memeluk wanita saat turun dari kuda.
Si anak pun menyimpulkan, "Oo..Ali itu suka berpelukan dengan perempuan." Padahal, si anak ini sebenarnya sedang menonton film Zorro yang dibintangi Antonio Banderas.
Irwan menilai kejadian tersebut sebagai bentuk dari dahsyatnya pengaruh perang pemikiran sistem kapitalisme. "Jadi, bosnya keluarga (ayah) dulu yang dihancurkan," ungkap suami dari psikolog Ery Retno Artini Soekresno ini.

Di buku tersebut terekam keinginan, suara hati, jeritan, kemarahan, dan kemurkaan anak-anak terhadap orang dewasa di sekelilingnya.
Terutama kepada para ayah. Dalam bukunya itu, Irwan mengkritik para dai atau aktivis dakwah yang abai terhadap pengasuhan anaknya dengan alasan sibuk berdakwah.
Padahal katanya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam pun adalah sosok ayah yang sangat memperhatikan anak-anaknya. Melalui Yayasan Langkah Kita Sahabat Ayah, Irwan juga menerbitkan buku "Ayah Ada Ayah Tiada" yang dicetak 10 ribu eksemplar dan dibagi-bagikan gratis kepada masyarakat.
Total di Dunia Anak
Irwan mulai terjun ke dunia anak-anak sejak kuliah di UI, Ia mengajar di Taman Pendidikan Al Qur'an Robbi Radhiyah, Jakarta. Dia satu-satunya guru lelaki di sana. Saat itu, dia juga bekerja di majalah Sabili Keluar dari Sabili, Irwan tetap menulis di buletin bernama Haninah tentang parenting, yang dicetak sebanyak 8000 eksemplar tiap terbitnya.
Selebaran itu menjadi berkah tersendiri bagi Irwan. Suatu hari, dia mendapat pesan di radio panggilnya, "Temui saya di Pasar Minggu Gedung Surindo Nomor 2". Sesuai instruksi, Irwan pun datang ke tempat yang disebut dalam pesan itu.
Sesampainya di sana, ia mendapati seorang ibu dengan buletin Haninah di tangannya. Ibu itu mengaku sangat terharu dengan tulisan Irwan. Ibu tersebut adalah Elly Risman, seorang psikolog spesialis parenting. Elly Risman kemudian mengajak Irwan untuk bersama-sama bahu membahu memulai perjuangan ini.
Dari pertemuan itu, berdirilah Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH). Lembaga Konseling dan Pelatihan Parenting bagi orangtua, remaja, dan anak-anak. Di YKBH, Irwan rajin melakukan kunjungan ke berbagai komunitas di Jakarta dan daerah, serta menghadiri sejumlah undangan dari luar negeri.
Ujian dari Allah
Ada satu tantangan yang sangat berat bagi Irwan dalam mengampanyekan konsep parentingnya. Dia mengaku kerap dianggap tidak kompeten bicara parenting karena dirinya tidak mempunyai anak. Irwan dan istrinya diberikan cobaan yang berat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Istrinya telah tiga kali melahirkan, namun ketiga anaknya meninggal dunia. Usai melahirkan anak ketiga, rahim sang istri harus diangkat. Namun Irwan dan istrinya, Ery, tidak berputus asa. Pemeran sosok Ustadz Rahmat Abdullah dalam film Sang Murabbi ini telah berhasil menjadi ayah dan mendidik puluhan anak angkat dari orangtua yang tidak jelas.
Di antara anak-anak itu ada yang sudah menemukan orangtua kandung mereka kembali, bahkan ada juga yang sudah menikah dan punya cucu.
Irwan juga memiliki beberapa rumah singgah untuk anak-anak gelandangan. "Jika apa yang saya sampaikan itu bermanfaat ambillah. Jika tidak, buang. Yang harus kita sadari, ghazwul fikr telah masuk dan menghantam keluarga kita dengan menyingkirkan peran keayahan," demikian pesan pria berkacamata yang bertekad ingin menghabiskan hari-harinya untuk kemaslahatan anak-anak ini.
Suara Hidayatullah - Maret 2012/ Rabiul Akhir 1433 H, Hal 74-75
AniqAds
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !