Antara 'Virus' K-Pop dan Misionaris

Korea
Selatan atau sering disebut negeri ginseng memang menarik untuk
dikunjungi. Selain menjadi penyebar 'virus' K-Pop dengan Boy Band dan
Girl Band yang lagi ngetren di Indonesia, Korea ternyata juga marak
dengan perkembangan misionarisnya. Berikut catatan perjalanan Nafielah
Chuluk untuk Anda.
Tak hanya hiburan, saya pun
mendapatkan pengalaman spiritual. Tak banyak yang tahu bahwa Muslim di
Korea memiliki tantangan yang besar dalam berdakwah. Gencarnya
misionaris yang ada, membuat kita harus mampu membentengi dan melindungi
diri dari "serangan" tersebut.
Mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke Korea selama dua pekan, tidak saya lewatkan begitu saja. Beberapa tempat saya kunjungi, mulai dari wisata alam terbuka seperti Mt. Sorak National Park, Nami Island, Shindo Island, hingga Everland Theme Park, museum, dan tentunya beberapa istana di Korea.
Geliat Misionaris
Suatu sore saya pergi ke Anjungan Tunai Mandiri (ATM) di dalam kampus Inha University, Incheon. Usai mengambil uang, saya kemudian duduk sambil membereskan tas di depan ATM tersebut.
Mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke Korea selama dua pekan, tidak saya lewatkan begitu saja. Beberapa tempat saya kunjungi, mulai dari wisata alam terbuka seperti Mt. Sorak National Park, Nami Island, Shindo Island, hingga Everland Theme Park, museum, dan tentunya beberapa istana di Korea.
Geliat Misionaris
Suatu sore saya pergi ke Anjungan Tunai Mandiri (ATM) di dalam kampus Inha University, Incheon. Usai mengambil uang, saya kemudian duduk sambil membereskan tas di depan ATM tersebut.

Tiba-tiba ada tiga orang nenek yang menghampiri saya dan mengajak
berbincang. Kemampuan berbahasa Korea saya yang terbatas membuat
sebagian besar percakapan menggunakan bahasa isyarat.
Mereka menanyakan apakah saya mahasiswa di Inha dan sebagainya_ Saya pun menjawab sekenanya saja. Tak lama setelah itu, mereka memberi tiga lembar brosur yang berisi cuplikan Alkitab, kisah Yesus. dan nilai-nilai Kristiani.
Meski belum paham tentang isi brosur yang bertulisan hangul, saya bisa melihat dari beberapa tulisan latin yang ada. Mereka juga mengajak saya ikut acara mereka, semacam kebaktian.
Saya terima brosur itu dan berbasa-basi. Saya juga menyampaikan bahwa saya bukan penganut Kristen.
“Gwenchana, gwenchana." Kata seorang nenek. Artinya tidak apa-apa. It’s ok. Datang saja!
Saya hanya tersenyum. Tak lama kemudian saya berpamitan, memotong pembicaraan sebelum terlalu lama, karena tampaknya mereka masih ingin melanjutkan perbincangan. Saya juga sempat berfoto dengan mereka.
Sebagai turis awam di Korea, saya agak bingung. Saya pernah mendengar bahwa Korea sebagai salah satu sumber misionaris terbesar setelah Amerika. Tapi segencar itukah mereka?
Hingga saya yang jelas-jelas seorang Muslimah mengenakan jilbab pun tetap menjadi sasaran dakwah mereka.
Tak cuma itu, di lain kesempatan saya kembali bertemu dengan para misionaris. Saat itu saya hendak pulang usai mengunjungi Shindo, salah satu daerah wisata yang pernah ada tempat syuting drama terkenal, Full House.
Lokasinya cukup jauh dari Incheon, tempat saya menetap selama di Korea. Saya harus naik bus ke stasiun Incheon, dan diteruskan dengan kereta ke bandara, dari bandara saya harus meneruskan perjalanan dengan bus kembali, dan menyebrang, ke pulau Shindo menggunakan Feri.
Tak sampai di situ, untuk mencapai lokasi wisata Full House, saya kembali harus mencari bus dan mencapai lokasi dengan bersepeda. Lengkap. Semua jenis kendaraan saya naiki untuk mencapainya, bus, kereta, kapal, dan sepeda, cuma tanpa pesawat.
Saya menyewa sepeda kepada unit usaha di rumah jompo sekitar. Rumah ini seperti asrama berisi puluhan kakek dan nenek. Mereka menyambut baik, mengajak ngobrol dan bahkan menjamu kami dengan panganan kecil khas Korea.
Sayang tempat ini tidak terawat. Beberapa bagian rumah tampak rusak dan catnya pun mulai mengelupas. Saya sedang menunggu kapal untuk menyeberang kembali ke tujuan pulang, Incheon.
Bersama dua orang teman, Asiah dan Nana, saya duduk berbincang sambil menikmati pemandangan. Saat itu juga dua orang lelaki, yang saya perkirakan berusia 50 tahun datang menghampiri.
Sekadar mengajak berbincang dan menawarkan bantuan untuk kami berfoto. Kami berbicara tentang banyak hal, tentang Indonesia maupun Korea. Hingga akhirnya mereka menyinggung busana kami, yang ketiganya berjilbab.
Mereka bertanya-tanya tentang Islam dan teroris. Kasus pemboman WTC, dan kami pun menjawab sekadar-nya. Disamping keterbatasan bahasa, saya juga menganggap perbincangan ini hanya menjadi debat kusir tak berujung.
Saat akan berpisah, lagi-lagi saya diajak berkunjung ke tempat mereka untuk berdiskusi tentang Kristen. Mereka memberikan alamat basecamp, begitu mereka menyebutnya, kepada kami. Mereka juga meminta nomor telepon dan alamat kami di Korea, namun saya katakan bahwa kami tidak menggunakan ponsel di Korea dan tinggal menginap berpindah-pindah di rekan kami.
Mereka menanyakan apakah saya mahasiswa di Inha dan sebagainya_ Saya pun menjawab sekenanya saja. Tak lama setelah itu, mereka memberi tiga lembar brosur yang berisi cuplikan Alkitab, kisah Yesus. dan nilai-nilai Kristiani.
Meski belum paham tentang isi brosur yang bertulisan hangul, saya bisa melihat dari beberapa tulisan latin yang ada. Mereka juga mengajak saya ikut acara mereka, semacam kebaktian.
Saya terima brosur itu dan berbasa-basi. Saya juga menyampaikan bahwa saya bukan penganut Kristen.
“Gwenchana, gwenchana." Kata seorang nenek. Artinya tidak apa-apa. It’s ok. Datang saja!
Saya hanya tersenyum. Tak lama kemudian saya berpamitan, memotong pembicaraan sebelum terlalu lama, karena tampaknya mereka masih ingin melanjutkan perbincangan. Saya juga sempat berfoto dengan mereka.
Sebagai turis awam di Korea, saya agak bingung. Saya pernah mendengar bahwa Korea sebagai salah satu sumber misionaris terbesar setelah Amerika. Tapi segencar itukah mereka?
Hingga saya yang jelas-jelas seorang Muslimah mengenakan jilbab pun tetap menjadi sasaran dakwah mereka.
Tak cuma itu, di lain kesempatan saya kembali bertemu dengan para misionaris. Saat itu saya hendak pulang usai mengunjungi Shindo, salah satu daerah wisata yang pernah ada tempat syuting drama terkenal, Full House.
Lokasinya cukup jauh dari Incheon, tempat saya menetap selama di Korea. Saya harus naik bus ke stasiun Incheon, dan diteruskan dengan kereta ke bandara, dari bandara saya harus meneruskan perjalanan dengan bus kembali, dan menyebrang, ke pulau Shindo menggunakan Feri.
Tak sampai di situ, untuk mencapai lokasi wisata Full House, saya kembali harus mencari bus dan mencapai lokasi dengan bersepeda. Lengkap. Semua jenis kendaraan saya naiki untuk mencapainya, bus, kereta, kapal, dan sepeda, cuma tanpa pesawat.
Saya menyewa sepeda kepada unit usaha di rumah jompo sekitar. Rumah ini seperti asrama berisi puluhan kakek dan nenek. Mereka menyambut baik, mengajak ngobrol dan bahkan menjamu kami dengan panganan kecil khas Korea.
Sayang tempat ini tidak terawat. Beberapa bagian rumah tampak rusak dan catnya pun mulai mengelupas. Saya sedang menunggu kapal untuk menyeberang kembali ke tujuan pulang, Incheon.
Bersama dua orang teman, Asiah dan Nana, saya duduk berbincang sambil menikmati pemandangan. Saat itu juga dua orang lelaki, yang saya perkirakan berusia 50 tahun datang menghampiri.
Sekadar mengajak berbincang dan menawarkan bantuan untuk kami berfoto. Kami berbicara tentang banyak hal, tentang Indonesia maupun Korea. Hingga akhirnya mereka menyinggung busana kami, yang ketiganya berjilbab.
Mereka bertanya-tanya tentang Islam dan teroris. Kasus pemboman WTC, dan kami pun menjawab sekadar-nya. Disamping keterbatasan bahasa, saya juga menganggap perbincangan ini hanya menjadi debat kusir tak berujung.
Saat akan berpisah, lagi-lagi saya diajak berkunjung ke tempat mereka untuk berdiskusi tentang Kristen. Mereka memberikan alamat basecamp, begitu mereka menyebutnya, kepada kami. Mereka juga meminta nomor telepon dan alamat kami di Korea, namun saya katakan bahwa kami tidak menggunakan ponsel di Korea dan tinggal menginap berpindah-pindah di rekan kami.

Saat saya menceritakan pengalaman itu kepada sepupu saya, Erlina yang sudah sekitar 1,5 tahun menetap di Korea, ia mengatakan memang banyak sekali yang "berdakwah" seperti itu.
Modusnya beragam, ada yang membagi-bagikan kue di taman sambil menyebarkan brosur, membagikan masker, dan tisu gratis di musim dingin, membacakan Alkitab dengan suara keras di dalam kereta api dan tempat umum lainnya sambil mengangkat tangan yang memegang Alkitab.
Para misonaris itu juga mengunjungi kampus-kampus, hingga door to door ke rumah. Benar saja, saat saya sedang di rumah sepupu saya itu, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dengan keras.
Sepupu saya keluar dan mengatakan, "Aniyo, moslem, moslem". Yang menyatakan penolakan, dan kami Muslim. Dengan penolakan itu ternyata tidak semuanya langsung pergi, ada juga yang sengaja menahan pintu dan memaksa mendengarkan mereka berceramah.
TKI Jadi Sasaran
Saya juga sempat berbincang dengan Nana, salah seorang mahasiswi Indonesia yang belajar di Yonsei University. Ia mengatakan sudah familiar dengan hal itu. Ia sering bertemu dengan orang yang sekadar memberi brosur, atau meminta mendengarkan ceramah tentang Yesus.
"Pernah saking keselnya, aku tantangin aja mereka," cerita Nana. Saat itu Nana dihampiri seorang pelajar SMA laki-laki, dan langsung menghadang sambil menyampaikan isi Alkitab.
Sebelumnya Nana sempat melihat anak lelaki itu berjalan berdua dengan seorang lelaki yang lebih tua, yang kemudian memberikan kode untuk menghampiri Nana. "Kayaknya sih dia baru melakukan hal itu dan sedang dimentori oleh seniornya, semacam uji coba dan berceramah di depan aku," kata Nana.
Nana lalu menantang pengetahuan pemuda tersebut tentang Kristen dan Yesus. Alih-alih diceramahi, Nana malah mencecar dengan berbagai pertanyaan yang ternyata tidak bisa dijawab oleh sang pemuda.
Fakta lain yang lebih membuat miris adalah ternyata para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kerap menjadi sasaran dakwah mereka. Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari salah seorang pengurus Imuska (Indonesian Muslim Society in Korea), Gilar Budi,
Modusnya beragam, ada yang membagi-bagikan kue di taman sambil menyebarkan brosur, membagikan masker, dan tisu gratis di musim dingin, membacakan Alkitab dengan suara keras di dalam kereta api dan tempat umum lainnya sambil mengangkat tangan yang memegang Alkitab.
Para misonaris itu juga mengunjungi kampus-kampus, hingga door to door ke rumah. Benar saja, saat saya sedang di rumah sepupu saya itu, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dengan keras.
Sepupu saya keluar dan mengatakan, "Aniyo, moslem, moslem". Yang menyatakan penolakan, dan kami Muslim. Dengan penolakan itu ternyata tidak semuanya langsung pergi, ada juga yang sengaja menahan pintu dan memaksa mendengarkan mereka berceramah.
TKI Jadi Sasaran
Saya juga sempat berbincang dengan Nana, salah seorang mahasiswi Indonesia yang belajar di Yonsei University. Ia mengatakan sudah familiar dengan hal itu. Ia sering bertemu dengan orang yang sekadar memberi brosur, atau meminta mendengarkan ceramah tentang Yesus.
"Pernah saking keselnya, aku tantangin aja mereka," cerita Nana. Saat itu Nana dihampiri seorang pelajar SMA laki-laki, dan langsung menghadang sambil menyampaikan isi Alkitab.
Sebelumnya Nana sempat melihat anak lelaki itu berjalan berdua dengan seorang lelaki yang lebih tua, yang kemudian memberikan kode untuk menghampiri Nana. "Kayaknya sih dia baru melakukan hal itu dan sedang dimentori oleh seniornya, semacam uji coba dan berceramah di depan aku," kata Nana.
Nana lalu menantang pengetahuan pemuda tersebut tentang Kristen dan Yesus. Alih-alih diceramahi, Nana malah mencecar dengan berbagai pertanyaan yang ternyata tidak bisa dijawab oleh sang pemuda.
Fakta lain yang lebih membuat miris adalah ternyata para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kerap menjadi sasaran dakwah mereka. Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari salah seorang pengurus Imuska (Indonesian Muslim Society in Korea), Gilar Budi,

TKI yang terjebak masalah di Korea sering dimanfaatkan untuk misi
mereka. Untuk itu, Gilar dan teman-temannya juga melakukan advokasi,
bantuan untuk TKI, yang sebisa mungkin meminimalisir situasi tersebut.
Meski belum menjangkau secara luas, mereka tetap mencoba masuk dan membantu langsung agar TKI tidak terjerat. Astaghfirullah, begitu gencar misi yang mereka lakukan. Ya, di balik hingar-bingar hiburan yang ditawarkan, Korea ternyata memiliki tantangan khusus bagi umat Islam. *
Meski belum menjangkau secara luas, mereka tetap mencoba masuk dan membantu langsung agar TKI tidak terjerat. Astaghfirullah, begitu gencar misi yang mereka lakukan. Ya, di balik hingar-bingar hiburan yang ditawarkan, Korea ternyata memiliki tantangan khusus bagi umat Islam. *
Nafielah Chuluk
Suara Hidayatullah | April 2012 / Jumadil Awal 1433, Hal 84 - 86
Bagi yang ingin mendownload: Ebook : Antara "Virus' K-Pop Dan-Misionaris
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !