Mendengarkan dan Mendampingi tanpa Mendikte membuat anak merasa aman, didukung dan dihargai
Pada dasarnya kenakalan remaja pada masa ke masa memiliki jenis
yang sama. Berdasar pada asumsi bahwa masa remaja adalah masa peralihan
dari anak-anak menuju dewasa.
Seperti banyak teori yang dikemukakan oleh ahli psikologi. Hingga kini, kita pun lazim untuk memanggil remaja dengan ABG alias anak baru gede.
Masih berdasar teori yang dikemukakan oleh para ahli psikologis
Barat, dikatakan pula bahwa pada masa ini individu yang disebut remaja,
menunjukkan perkembangan seksual, psikologis, pola identifikasi dari
anak menjadi dewasa, perkembangan kemampuan fisik, dan daya pikir.
Perkembangan dan perubahan inilah yang kemudian membuat remaja
kemudian seringkali meledak-ledak, tempramental, dan berkonflik dengan
orangtua.
Dengan asumsi dan teori yang demikian, kita "harus memaklumi" bahwa "ada masa"
dalam perkembangan manusia, dimana seseorang yang sudah baligh, boleh
berperilaku sesukanya: tempramental, melawan, tak bermanfaat bahkan
cenderung merusak.
Padahal, bila kita membuka catatan sejarah Islam, para remaja di
masa keemasan Islam adalah orang-orang yang berkontribusi luar biasa
untuk kemajuan agamanya.
Sebut saja Rafi' bin Khudaiji yang memaksa Rasulullah SAW untuk mengikutkannya dalam peperangan padahal usianya ketika itu baru 12 tahun.
Dengan cakapnya, ia memperlihatkan permainan panah yang
dikuasainya. Hingga akhirnya, Rasulullah pun mengizinkannya ikut
berperang.
Tak kalah luar biasa adalah apa yang dicapai oleh Sultan Al Fatih II ketika merebut Konstantinopel di usianya yang baru 19 tahun dan kepemimpinan Usamah bin Zaid yang dimandatkan langsung oleh Rasulullah SAW di usia 17 tahun.
Meskipun mereka mencapai kegemilangan "di masa remaja". Masa
yang direntangkan antara 15. 12 hingga 21 tahun tersebut, tentu bukan
dibiarkan dengan berperilaku sesukanya, tempramental, dan tanpa kendali.
Mereka pastilah mengasah kecakapannya dengan tekad yang kuat, semangat, ilmu yang luas, dan disiplin tinggi.
Dengarkanlah dan Bersepakatlah
Inilah saatnya bagi kita sebagai orangtua untuk kembali mengarahkan
pandangan kita pada bagaimana Rasulullah SAW mendidik generasi. Sekali
lagi, harus bermula dari diri kita sendiri.
Sebelum kita ingin menerapkan bagaimana Rasulullah SAW mendidik,
tentu kita pun harus membiasakan akhlak Rasulullah SAW sebagai orangtua
dan pendidik pada diri kita.
Salah satunya adalah dengan membiasakan diri menerapkan sikap Rasulullah SAW ketika mendengarkan orang lain yang sedang bicara bahkan selalu menghadapkan seluruh wajah dan tubuhnya pada orang yang sedang berbicara tersebut.
Sikap ini sangat penting manakala kita tengah berbicara dengan
anak, terutama anak yang tengah menuju dewasa. Bila diilustrasikan
dengan cangkir, maka bila kita hendak menuangkan air pada cangkir, kita
harus memastikan apakah cangkir dalam keadaan siap menerima air.
Bila cangkir dalam keadaan miring atau malah terbalik, tentu air
yang akan dituang hanya akan terbuang. Dengan demikian, berbicara pada
anak sedari kecil dan terutama pada saat dia beranjak dewasa harus
dipastikan dalam keadaan siap untuk mendengar dan mengungkapkan.
Sehingga anak merasa nyaman, dihargai pendapatnya oleh orangtua,
dan siap menerima masukan. Lebih jauh, bila ada orang yang berbicara
maka tak ubahnya seperti orang yang sedang mengulurkan tangannya untuk
berjabat tangan dengan kita.
Bila kita bersedia bersalaman dengannya, maka tentu kita juga akan
mengangkat tangan kita menyambut tangannya. Dengan demikian, bila kita
tengah mendengarkan orang lain berbicara, berarti kita tengah mencoba
mengerti, memahami ucapannya, dan tak ubahnya orang yang berjabat
tangan.
Inilah pola dialog yang sangat efektif manakala kita berbicara
dengan anak yang tengah beranjak dewasa. Pola dialog yang diharapkan
mampu mendekatkan sekaligus membuahkan kesepakatan antara anak dengan
orangtua.
Karena, di masa ini, anak bukanlah lagi sekadar orang yang hanya
menerima masukan tetapi ia sudah mulai memiliki ketajaman logika untuk
menganalisa dan keinginan untuk diakui sebagai mitra.
Sehingga, anak yang tengah beranjak dewasa dapat mengungkapkan
hal-hal yang dipikirkannya dan dirasakannya, yang kemudian ditanggapi
oleh orangtua, tanpa merasa didikte.
Pola pembicaraan seperti ini juga sangat efektif untuk mendewasakan
anak karena ia telah dilatih untuk mengkondisikan dirinya untuk siap
berbicara.
Sehingga ketika ia dewasa, ia selalu dapat mempersiapkan dirinya
untuk berbicara dengan baik, mengemukakan pikirannya, dan membuat
kesepakatan dengan orang lain.
Sikap seperti ini tentunya sangat berguna manakala ia berada dalam
tim. Kinerja tim akan optimal karena kemampuannya mengeluarkan ide dan
mengutarakan solusi.
Sikap seperti ini juga sangat mendukung performan manakala ia
menjadi pemimpin. Kemampuannya untuk berbicara sekaligus mengakomodir
pendapat orang lain, dapat melejitkan kemampuannya membuat
terobosoan-terobosan spektakuler seperti yang telah dilakukan oleh Al
Fatih II.
Berguna meski Belia
Kenakalan remaja sejatinya
adalah buah dari tidak terakomodirnya keinginan mereka untuk menjadi
dewasa oleh orangtua dan lingkungan. Bila mereka ingin menjadi
orang dewasa, maka tugas orangtua dan lingkunganlah untuk mendukung
proses mereka menjadi dewasa yang seharusnya.
Bukan mentolerir kelabilan yang mereka rasakan dengan membiarkan mereka trial and error dalam segala hal. Kita memang tidak dapat lagi menuntun mereka di depan tetapi mendampingi langkahnya.
Ini tentu akan membuat mereka tetap merasa aman sekaligus merasa
didukung dan dihargai. Menuju dewasa ini memang masa yang luar biasa.
Keterbukaan dan kesiapan orangtua untuk dapat menerima perubahan anak
menuju tahap yang lebih baik, memegang kunci keberhasilan anak di masa
dewasanya.
Sikap orangtua untuk menerima dan menghargai keputusannya,
sebaiknya diikuti dengan pendampingan tentang arah mana yang harus
menjadi fokus anak.
Rasulullah SAW Bersabda; "Muliakanlah anak kalian dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik." (Riwayat Ibnu Majah)
Kita tentu berharap, anak-anak kita di usia beranjak dewasanya juga
menjadi pribadi saleh dan berguna bagi agama dan orangtuanya. Alangkah
baiknya, jika di usia dini mereka dapat memanfaatkan energi luar
biasanya untuk membuahkan karya yang bermanfaat.
Dengan energi yang besar, pikiran cemerlang, dan keberanian
melakukan yang tak biasa, mereka tentu dapat mengulang sejarah. Menjadi
secakap Rafi' bin Khudaiji, seinovatif al Fatih II, atau setangguh dan
seterpercaya Usamah bin Zaid.
Kartika Trimarti
Ibu Rumah Tangga tinggal di Bekasi, Jawa Barat.
Suara Hidayatullah / Maret 2012/Raibul Akhir 1433, Hal 70 - 71
Dikutip ulang dari @bundanyaniq (Follow Us!)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !