Resepnya bisa dilihat dari kehidupan berumahtangga Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam (SAW) dengan Siti Khadijah.
Apa hikmah ditakdirkannya Rasulullah SAW beristrikan Siti Khadijah Radhiallahu anhu (ra) yang usianya lebih tua 15 tahun? Di saat itu usia Muhammad SAW baru 25 tahun, sementara Siti Khadijah sudah 40 tahun.
Dengan perbedaan usia tersebut, jika ini terjadi sekarang, bukan di
dalam rumah tangga Rasulullah SAW, belum tentu keluarga tersebut bisa
seharmonis rumah tangga beliau.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala (SWT) telah menetapkan
laki-laki sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Lazimnya kita dapati
bahwa sang pemimpin adalah mereka yang usianya lebih matang daripada
bawahannya.
Namun kenyataannya, Rasulullah SAW telah membalik pendapat tersebut
dan telah membuktikan bahwa kematangan dan kedewasaan kepribadian,
tidaklah selalu identik dengan usia yang lebih tua.
Menarik sekali teladan yang telah ditunjukkan oleh pasangan mulia
Rasulullah SAW dan Siti Khadijah yang telah berhasil mengantar rumah
tangga mereka menjadi contoh teladan keluarga pejuang yang harmonis.
Tentu tak mudah untuk bisa sampai ke tingkatan tersebut, karena
istri dengan usia lebih tua dari suami memiliki kecenderungan untuk
lebih dominan daripada suaminya.
Nah, bagaimana agar hal hal ini tidak terjadi, baiklah kita teladani apa yang dicontohkan oleh pasangan mulia tersebut.
Kepribadian Suami yang Kuat
Allah SWT menakdirkan kedewasaan kepada pemuda
Muhammad lebih cepat dibandingkan pemuda-pemuda lain seusianya. Jika
pemuda lain pada usia tersebut banyak yang masih senang-senang dengan
kekayaan dan perempuan, Muhammad SAW justru semenjak kecil telah
ditumbuhkan Allah SWT dalam kondisi terjaga dari kemaksiatan.
Di saat teman-teman seusianya masih bermanja-manja dengan ibunya,
ia sudah harus kehilangan ibu yang dicintainya, di usia 6 tahun. Belum
lagi meninggalnya sang kakek; Abdul Muththalib yang mengurusnya selama dua tahun. Sungguh sebuah ujian yang berat.
Semenjak kecil Muhammad SAW sudah mulai ikut berdagang dan
menggembala domba untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kehidupan keras
yang harus dijalani semenjak kecil ini menempa pribadi Muhammad lebih
cepat dewasa dibandingkan anak lain.
Ia tumbuh menjadi pemuda yang ulet, berjiwa pemimpin, suka bekerja
keras, jujur, amanah, dan suka berbuat untuk orang lain. Nah, jika
laki-laki bisa sedewasa ini, maka tak menjadi persoalan berapapun usia
istrinya, ia akan tetap bisa menyikapi dengan bijak, berkat kematangan
kepribadiannya.
Begitu pun juga Khadijah, seorang janda kaya yang terbiasa mengurus
dirinya sendiri. Ia juga pengusaha yang menjalankan sendiri
kepemimpinan dalam usahanya tersebut terhadap puluhan anak buahnya.
Hal seperti ini membuat seorang istri memiliki kecenderungan untuk
menjadi lebih dominan dibanding suaminya. Namun ini tidak terjadi,
karena Muhammad SAW sebagai suaminya, ternyata bisa mengimbangi dominasi
istrinya tersebut, dan mampu tampil menjadi pemimpin yang memimpin
istrinya dengan bijak.
Ketaatan Istri
Jika tidak ada ketaatan istri, hancurlah keluarga ini. Karena usia
istri yang jauh lebih tua, posisinya sebagai pengusaha kaya dan memiliki
banyak anak buah, tentu dalam kesehariannya pun terbiasa memimpin
mereka.
Namun begitu ikatan pernikahan disahkan, dengan ikhlash Khadijah
meletakkan seluruh kehebatannya tersebut. Dominasinya pun ia lepaskan.
Ketaatan kepada suami pun ia tumbuhkan.
Bahkan untuk membuktikan ketaatannya tersebut, ia serahkan
pengelolaan seluruh usahanya tersebut kepada suaminya. Hal ini menjadi
pembelajaran menarik bagi para perempuan pada jaman sekarang.
Banyak kaum perempuan yang saat ini memiliki posisi seperti
Khadijah, dengan kekayaan yang melebihi suami. Memiliki pekerjaan yang
lebih baik gajinya daripada gaji suami, bahkan memiliki perusahaan
dengan banyak karyawan di bawahnya, sehingga ia terbiasa hidup dengan
dominasi kepemimpinan terhadap orang lain.
Umumnya, kondisi seperti ini akan memberikan kecenderungan istri
menjadi lebih dominan daripada suami. Namun hebatnya, hal ini tidak
terjadi kepada Khadijah.
Dia tidak menjadi sombong dengan perusahaannya dan kematangan
usianya dibanding suaminya. Begitu menikah, bahkan ia serahkan
pengelolaan perusahaannya kepada suaminya.
Ia rela berada dalam kepemimpinan suaminya, mentaati keputusan dan
kebijakan yang diambil, dan menomorduakan pendapatnya sendiri. Jika
istri menyombongkan posisi dan merendahkan suami, itulah pangkal dari
ketidakharmonisan keluarga.
Karena selanjutnya, kelemahan dan kesalahan suami akan
dibesar-besarkan, sementara kelebihan suami tak diakuinya karena merasa
dirinya sudah lebih berprestasi.
Istri Cerdas Emosi
Istri Cerdas Emosi adalah istri yang memahami bahwa suamilah
pemimpin terbaik yang sudah dipilih Allah SWT. Maka, walaupun dalam
kepemimpinan suaminya terdapat kekurangan-kekurangan, ia tidak
menyalahkan dan merendahkan begitu saja, namun tetap mampu
menghargainya.
Ketika berbeda pendapat tentang pemilihan sekolah anak, misalnya,
istri yang memiliki kecerdasan emosi mencoba berpendapat tanpa
menyalahkan pendapat suaminya.
Ia bisa mengeluarkan pendapat;
"Betul, sekolah pilihan ayah itu memang memiliki fasilitas yang bagus, jauh lebih bagus dari sekolah lain. Tapi, anak kita ini sifatnya sulit adaptasi. Ia lebih butuh guru yang bisa memahami sifatnya daripada sekadar fasilitas lengkap.
"Betul, sekolah pilihan ayah itu memang memiliki fasilitas yang bagus, jauh lebih bagus dari sekolah lain. Tapi, anak kita ini sifatnya sulit adaptasi. Ia lebih butuh guru yang bisa memahami sifatnya daripada sekadar fasilitas lengkap.
Bagaimana kalau kita coba lihat sekolah yang satu lagi, sepertinya guru-gurunya lebih bagus daripada guru sekolah lain."
Istri yang cerdas emosi akan faham, bahwa suaminya butuh dukungan
dan pengakuan sebagai pemimpin. Maka walaupun gaji serta posisi di
tempat kerja lebih tinggi, ia tetap senantiasa menomorsatukan pendapat
suaminya.
Sebagai bukti pengakuan, maka ia akan berkomitmen untuk menaati
sebagian besar keinginan dan perintah suami, khususnya untuk hal-hal
kecil yang tak perlu diperdebatkan.
Masalah pemilihan dan penempatan perabot, masalah selera masakan,
keinginan suami agar istri memanjangkan rambutnya, hingga pengaturan
jadwal waktu kegiatan harian.
Misalnya, walaupun istri kurang sependapat namun ia rela mentaati
pendapat suaminya. Tetapi untuk beberapa hal yang ia anggap penting,
barulah ia akan mencoba untuk berpendapat, itupun tetap dengan
komunikasi yang tidak menyalahkan.
Salah satu konsep komunikasi antara pemimpin dengan rakyatnya, difirmankan Allah dalam al Qur'an surat al-Hujuraat ayat 2: 59.
"Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu meninggikan
suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan
suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang
lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak
menyadari."
Istri yang cerdas, akan memahami bahwa aturan-aturan yang harus
dipatuhi istri terhadap suaminya seperti ayat di atas. Ayat tersebut
bukan merupakan pelecehan atau diskriminasi gender, tetapi sebagai
aplikasi dari pemahaman perbedaan karakter laki-laki dan perempuan.
Penulis buku-buku Parenting
Dikutip ulang dari twitter @bundanyaniq
Suara Hidayatullah , Maret 2012/ Rabiul Akhir 1433, Hal 68 - 69
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !