Wadah Bagi Muallaf yang Terbuang
Rabu, 19 Juni 2013 / 10 Sya'ban 1434 H
Pesantren Pembinaan Muallaf Annaba’ Center di daerah Ciputat, Tangerang Selatan didirikan oleh Ustadz Syamsul Arifin Nababan, pada tahun 2007
Pesantren ini berdiri awalnya dari keluh kesah seorang mantan binaan Ustadz Nababan, begitu sapaannya yang merasa kurang perhatian dari kaum Muslim ketika memeluk Islam. Ia merasa miris ketika mantan binaannya itu mengatakan bahwa setelah masuk Islam cobaan hidupnya semakin berat.
Mulai dari dikucilkan keluarga sampai sulit untuk sekadar makan sehari-harinya.
“Saya menangis dan berpikir untuk membuat wadah bagi para muallaf,” kata pria yang dulunya beragama Kristen kepada Suara Hidayatullah awal Juli lalu.
Akhirnya, Ustadz Nababan, dengan modal nekat segera mencari tanah kosong untuk mendirikan pesantren. Ikhtiar dan doa terus dipanjatkan. Alhamdulillah, Allah Ta’ala pun mengabulkannya. Pesantren pun berdiri.
Kemudian pada awal tahun 2008, sebanyak 50 orang orang muallaf yang kebanyakan berasal dari luar Pulau Jawa, seperti Timor Leste dan Sumatera Utara mulai nyantri. Rata-rata mereka diusir keluarganya setelah mengucap syahadat.
“Kebutuhan santri semuanya gratis, mulai dari makan hingga kebutuhan sehari-hari,” kata pria kelahiran Tebing Tinggi, Sumatra Utara, 10 November 1966 ini.
Menurut Ustadz Nababan awalnya ia merasa kesulitan menghadapi para santri muallaf yang rata-rata aqidahnya masih belum mantap dan masih menjalani kepercayaan agama yang lama.
Namun, perlahan tapi pasti akhirnya akidah santrinya mulai kuat dan mudah untuk mengajarkan ilmu agama.
“Satu bulan mereka bisa membaca al Qur’an, bahkan ada yang bisa menghafal beberapa juz,” katanya.
Pesantren yang tidak memiliki donatur tetap ini mengajarkan bahasa Arab, akhlak, akidah, baca al Qur’an, dan beberapa pelajaran seperti di pesantren pada umumnya. Pesantren ini juga hanya menerima muallaf yang memiliki sertifikat resmi dari negara.
Mendapat teror
Setelah mengasuh pesantren selama lima tahun, Nababan mengaku banyak mendapatkan teror dari beberapa orang Nasrani. Tak jarang beberapa orang menghampiri pesantren ini hanya sekadar untuk mengorek informasi kegiatan di sana.
Modusnya pun berbeda-beda, ada yang melalui SMS bernada ancaman dan menakuti-nakuti hingga yang berpura-pura menjadi wartawan.
Ancaman tersebut tidak menggentarkan Nababan, malah membuatnya semakin bersemangat untuk membuat pesantren serupa di beberapa daerah.
“Saya dan teman-teman akan membuat cabang pesantren di daerah yang warganya mayoritas Kristen,” katanya.
Nababan merasa yakin kalau Allah Ta’ala akan membantu hambanya yang telah berbuat baik. Berlandaskan itulah, ia tidak merasa khawatir masalah dana untuk kelangsungan hidup pesantrennya.
“Kita tidak pernah kekurangan, jika sedang butuh, ada saja pertolongan dari Allah,” ujarnya.
Bahkan kata Nababan, kini Badan Amil Zakat Nasional telah membantu untuk pembiayaan para santrinya.
Saat ini, pesantren tersebut memiliki santri sebanyak 20 orang. Dari tahun ke tahun muallaf santri yang ingin menimba ilmu di sini tidak tetap jumlahnya.
Niesky Hafur Permana
Suara Hidayatullah Edisi 04 | Agustus 2012 / Ramadhan 1433 H, Hal 64
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !